Laman

Selasa, 26 Juni 2012

BlindSpot

Chapter 2 -Pertemuan-

Pada mulanya aku tidak melihat siapapun, tidak satupun. Meskipun ada beberapa dari mereka yang bersikap ramah atau sekadar bersopan santun menyapa atau mengajakku ngobrol mengenai daerah asalku. Aku melihat ada beberapa mahasiswa yang kelihatannya tertarik kepadaku. Namun mereka semua aku tanggapi dengan seperlunya atau malah sedingin-dinginnya. Tak ada yang menarik perhatianku. Aku selalu menarik diri dari permukaan, masih merasa ini bukan duniaku sebetulnya. Padahal sudah hampir 6 minggu aku disini, di tempat yang asing ini, dan masih terasa asing bagiku setelah sekian lamanya.

Namun, aku tahu itu semua akan berubah setelah pertemuan itu.


Ketika itu aku sedang berkutat dengan buku-bukuku- yang tebalnya minta ampun deh- di atap salah satu gedung di kampusku. Ya dulu juga aku seperti ini, bedanya hanya tempatnya saja. Aku menemukan tempat ini saat aku menjelajahi gedung di kampusku satu per satu. Agak kurang kerjaan juga sih sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi? Saat itu aku bosan setengah mati- dan aku temukan tempat itu. Saat aku kesana entah mengapa semua sesal, kesal  terasa lenyap begitu saja. Dengan pemandangan kota yang bisa dibilang bagus, aku terhipnotis. Hampir saja aku tertidur lalu aku mendengar suara teriakan itu, langsung saja mataku terbuka lebar.  Aku menoleh ke setiap sudut gedung itu yang bisa kulihat. Namun aku tak melihat siapapun, aku kembali menatap buku yang belum selesai kubaca tadi. Lalu seseorang kembali berteriak. Aku berdiri, mencari sumber suara itu. Dan aku melihatnya disana, berdiri di tepian gedung memandang ke bawah, menimbang-nimbang sepertinya jika dilihat dari sikapnya seperti itu. Aku langsung tahu bahwa dia sebentar lagi memutuskan untuk terjun ke bawah, tapi terlalu takut untuk memulai.

“melihat pemandangan mas? Bagaimana? Bagus ga?” ucapku saat kuputuskan untuk berbicara padanya.
“jangan dekat-dekat! Menjauh!” dia cukup terkejut, aku bisa melihat dari matanya yang membelalak saat dia menoleh padaku.
“ah, mas ini. Kalau pemandangannya bagus jangan dilihat sendiri mas. Saya datang kesini juga karena pemandangannya yang bagus,” aku melangkah mendekatinya.
“udah gue bilang kan jangan deket-deket! Kalo lo ngedeket gue bakal lompat,” ancamnya saat aku tak kunjung menghentikan langkahku. Mungkin dia bukan orang sini, mungkin dia merantau seperti yang lain, atau dibuang oleh orang tuanya sepertiku- aku merasa aku diasingkan oleh orang tuaku disini, huh menyebalkan. Yang aku tau pasti dia memang ingin mengakhiri hidupnya. Kalau bukan karena aku melihat kilatan keraguan di matanya saat berkata seperti itu padaku aku pasti sudah mengambil langkah lain untuk mencegahnya terjun ke bawah. Bayangkan! Ini adalah atap dari gedung bertingkat 5, kalau jatuh, ya, selain kepala retak, punggung retak yang berarti lumpuh permanen pada tangan atau kaki atau keduanya, leher patah, gegar otak serius, berarti kematian- yang tentu saja dia inginkan kalau itu memang benar.

“oh! Ternyata lo mau bunuh diri toh, gue kira lagi liat pemandangan,” aku semakin dekat, aku bisa melihatnya gemetar “gue sih mau aja mundur, males juga kan kalo berurusan sama polisi atau keluarga lo yang bakal nyalahin gue nanti kalo gue masih disini. Tapi… terlalu sayang kayanya kalo gue ga ngeliat lo jatoh,” karena tatapannya yang terkejut mendengar kata-kataku, aku melanjutkan “lo tau ga? Bunuh diri tuh ga enak, belum lagi kalo lo udah jatoh tapi ga mati, bah, bayangin aja patah tulang, gegar otak, lumpuh permanen, belum kalo muka lo yang mulus itu harus dioperasi dan hasil operasinya ancur atau bisa aja lo kena mal praktik. Ih, gue mah ga bisa bayangin. Atau yang lebih parah, lo mati terus ruh lo ga diterima di langit sama di bumi. Mau jadi apa lo nanti?” dia menimbang-nimbang perkataanku, aku melanjutkan “dasar bodoh! Lo ga mikirin nyokap lo atau bokap lo gitu atau siapa kek gitu, pacar lo…”
“jangan omongin soal pacar gue! Gue disini karena dia, pengkhianat bangsat!” aku melihat airmatanya mengalir di pipinya.
“oke, sorry! Lagian masa demi dia doang lo lompat sih. Cewek kan masih banyak. Payah banget lo!” aku mengatakannya lebih kepada diriku sendiri.

“eh cewek tengil, jangan pernah bilang gue- aa!!” terlalu cepat, dia terlalu cepat berbalik menghadapku. Aku berlari menuju tempatnya semula berdiri, untunglah disana terdapat sisi tembok yang dapat dipakai sebagai pegangannya. Aku mengulurkan tanganku, namun sepertinya dia kesulitan untuk menggapainya. Setelah mendesaknya untuk berpegangan pada tanganku, dia akhirnya bisa menggapai tanganku. Aku berusaha untuk menariknya. Sial! Aku lupa tangan yang aku gunakan untuk menariknya adalah tangan yang coba kupotong nadinya. Betapa ngilunya tangan itu saat menariknya keatas, aku pejamkan mataku menahan sakit sekaligus mengerahkan kekuatanku mengangkat tubuhnya. Ya Tuhan, tubuh laki-laki kenapa berat sih. Dan akhirnya aku berhasil mengangkatnya, namun hal buruk lainnya terjadi. Karena tenagaku sebagian besar terletak pada tanganku dan tubuhku lemas karena rasa sakit itu, kakiku jadi goyah dan aku terjatuh, dan juga karena dia masih dalam genggamanku dia ikut terjatuh.
Aku mengaduh merasakan sakit pada tangan, kepala, dan bokongku yang terbentur atap yang rata itu. Saat aku menyadari bahwa ruang gerakku terbatas oleh badan laki-laki itu, aku langsung mendorongnya. Dia beranjak menjauhiku.

“maaf,” katanya. Aku hanya mengangguk, lalu bangkit menuju buku-bukuku yang kutinggalkan tadi. Kuputuskan untuk menyudahi pertemuan kami.
“hei! Gue belum tahu nama lo,” di menahan tanganku. Aku berbalik menghadapnya.
“apa penting sebuah nama bagi orang kaya lo?” aku melangkah pergi. Dia tetap ditempatnya, tapi aku takkan repot-repot mengkhawatirkan bahwa dia akan kembali melompat, karena dia tak akan berbuat begitu aku sangat tahu.

Bermula dari kejadian itu, lalu dia entah mengapa selalu mengunjungi atap itu dan tentu saja selalu bertemu denganku. dia tidak seperti yang aku pikirkan sebelumnya, dia seorang laki-laki yang ramah, cerdas, dan tidak dangkal. Aku jadi heran mengapa dia memutuskan untuk melompat hanya karena seorang perempuan. Kami banyak berbincang, mengenai banyak hal pula.

Dimas, namanya, mahasiswa Fakultas Hukum. Dia juga baru mengetahui kalau aku ini adalah mahasiswi baru yang pindah bulan lalu. Dan sejak itu hubungan kami berangsur baik, sangat baik. Dia sering mengajakku ke tempat-tempat yang- menurutnya- menyenangkan. Dan aku mendapati diriku telah melupakan Gilang, kecuali rasa sakit yang masih tertanam di hatiku ini.

Kami sering berbincang mengenai kelas, atau mahasiswa lain. Dia bisa jadi teman bergosip yang menyenangkan. Dia setiap hari mampir ke fakultasku, dan tentu saja aku langsung tahu bahwa dia adalah mahasiswa yang dipuja-puja oleh hampir semua mahasiswi di fakultasku dan fakultas lainnya. Aku ingin tertawa jika mendengar omongan mereka, dan tentu saja melihat tatapan mereka kepadaku yang “aneh” ini saat aku dijemput oleh pangeran mereka itu. Seperti saat ini saat kami duduk di kafetaria dekat kampus kami, dan aku melihat teman satu jurusanku sedang berkasak-kusuk dibelakang kami saat kami berbincang, bertengkar, atau saat dia mencubit pipiku, ya itu seringkali dia lakukan padaku, seberapapun seringnya aku memukul jika dia mencubitku.

Pernah suatu kali seorang teman sekelasku bertanya apakah aku berpacaran dengan Dimas. Aku hanya bisa tertawa, dan saat kuceritakan pada Dimas, dia pun tertawa sangat keras, saking kerasnya aku sampai malu dibuatnya. 

Untuk sekali ini, ini cukup bagiku. Meskipun aku tak bisa berbohong bahwa kami memang sangat dekat , tapi aku belum bisa membuka hatiku untuk siapapun. Namun kita tak akan pernah tahu misteri apa yang menantiku di langkah berikutnya. Kita tak pernah tahu, takkan pernah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

i don't hate comment. so comment this post, please. i will be glad..:D