Chapter 2 -Pertemuan-
Pada mulanya aku tidak melihat siapapun, tidak satupun. Meskipun ada beberapa dari mereka yang bersikap ramah atau sekadar bersopan santun menyapa atau mengajakku ngobrol mengenai daerah asalku. Aku melihat ada beberapa mahasiswa yang kelihatannya tertarik kepadaku. Namun mereka semua aku tanggapi dengan seperlunya atau malah sedingin-dinginnya. Tak ada yang menarik perhatianku. Aku selalu menarik diri dari permukaan, masih merasa ini bukan duniaku sebetulnya. Padahal sudah hampir 6 minggu aku disini, di tempat yang asing ini, dan masih terasa asing bagiku setelah sekian lamanya.
Namun, aku tahu itu semua akan berubah setelah pertemuan
itu.
Ketika itu aku sedang berkutat dengan buku-bukuku- yang
tebalnya minta ampun deh- di atap salah satu gedung di kampusku. Ya dulu juga
aku seperti ini, bedanya hanya tempatnya saja. Aku menemukan tempat ini saat
aku menjelajahi gedung di kampusku satu per satu. Agak kurang kerjaan juga sih
sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi? Saat itu aku bosan setengah mati- dan aku
temukan tempat itu. Saat aku kesana entah mengapa semua sesal, kesal terasa lenyap begitu saja. Dengan pemandangan
kota yang bisa dibilang bagus, aku terhipnotis. Hampir saja aku tertidur lalu
aku mendengar suara teriakan itu, langsung saja mataku terbuka lebar. Aku menoleh ke setiap sudut gedung itu yang
bisa kulihat. Namun aku tak melihat siapapun, aku kembali menatap buku yang
belum selesai kubaca tadi. Lalu seseorang kembali berteriak. Aku berdiri,
mencari sumber suara itu. Dan aku melihatnya disana, berdiri di tepian gedung
memandang ke bawah, menimbang-nimbang sepertinya jika dilihat dari sikapnya
seperti itu. Aku langsung tahu bahwa dia sebentar lagi memutuskan untuk terjun
ke bawah, tapi terlalu takut untuk memulai.
“melihat pemandangan mas? Bagaimana? Bagus ga?” ucapku saat
kuputuskan untuk berbicara padanya.
“jangan dekat-dekat! Menjauh!” dia cukup terkejut, aku bisa
melihat dari matanya yang membelalak saat dia menoleh padaku.
“ah, mas ini. Kalau pemandangannya bagus jangan dilihat
sendiri mas. Saya datang kesini juga karena pemandangannya yang bagus,” aku
melangkah mendekatinya.
“udah gue bilang kan jangan deket-deket! Kalo lo ngedeket
gue bakal lompat,” ancamnya saat aku tak kunjung menghentikan langkahku. Mungkin
dia bukan orang sini, mungkin dia merantau seperti yang lain, atau dibuang oleh
orang tuanya sepertiku- aku merasa aku diasingkan oleh orang tuaku disini, huh
menyebalkan. Yang aku tau pasti dia memang ingin mengakhiri hidupnya. Kalau bukan
karena aku melihat kilatan keraguan di matanya saat berkata seperti itu padaku
aku pasti sudah mengambil langkah lain untuk mencegahnya terjun ke bawah. Bayangkan!
Ini adalah atap dari gedung bertingkat 5, kalau jatuh, ya, selain kepala retak,
punggung retak yang berarti lumpuh permanen pada tangan atau kaki atau
keduanya, leher patah, gegar otak serius, berarti kematian- yang tentu saja dia
inginkan kalau itu memang benar.
“oh! Ternyata lo mau bunuh diri toh, gue kira lagi liat
pemandangan,” aku semakin dekat, aku bisa melihatnya gemetar “gue sih mau aja
mundur, males juga kan kalo berurusan sama polisi atau keluarga lo yang bakal
nyalahin gue nanti kalo gue masih disini. Tapi… terlalu sayang kayanya kalo gue
ga ngeliat lo jatoh,” karena tatapannya yang terkejut mendengar kata-kataku,
aku melanjutkan “lo tau ga? Bunuh diri tuh ga enak, belum lagi kalo lo udah
jatoh tapi ga mati, bah, bayangin aja patah tulang, gegar otak, lumpuh
permanen, belum kalo muka lo yang mulus itu harus dioperasi dan hasil
operasinya ancur atau bisa aja lo kena mal praktik. Ih, gue mah ga bisa
bayangin. Atau yang lebih parah, lo mati terus ruh lo ga diterima di langit
sama di bumi. Mau jadi apa lo nanti?” dia menimbang-nimbang perkataanku, aku
melanjutkan “dasar bodoh! Lo ga mikirin nyokap lo atau bokap lo gitu atau siapa
kek gitu, pacar lo…”
“jangan omongin soal pacar gue! Gue disini karena dia,
pengkhianat bangsat!” aku melihat airmatanya mengalir di pipinya.
“oke, sorry! Lagian masa demi dia doang lo lompat sih. Cewek
kan masih banyak. Payah banget lo!” aku mengatakannya lebih kepada diriku
sendiri.
“eh cewek tengil, jangan pernah bilang gue- aa!!” terlalu
cepat, dia terlalu cepat berbalik menghadapku. Aku berlari menuju tempatnya
semula berdiri, untunglah disana terdapat sisi tembok yang dapat dipakai
sebagai pegangannya. Aku mengulurkan tanganku, namun sepertinya dia kesulitan
untuk menggapainya. Setelah mendesaknya untuk berpegangan pada tanganku, dia
akhirnya bisa menggapai tanganku. Aku berusaha untuk menariknya. Sial! Aku lupa
tangan yang aku gunakan untuk menariknya adalah tangan yang coba kupotong
nadinya. Betapa ngilunya tangan itu saat menariknya keatas, aku pejamkan mataku
menahan sakit sekaligus mengerahkan kekuatanku mengangkat tubuhnya. Ya Tuhan,
tubuh laki-laki kenapa berat sih. Dan akhirnya aku berhasil mengangkatnya,
namun hal buruk lainnya terjadi. Karena tenagaku sebagian besar terletak pada
tanganku dan tubuhku lemas karena rasa sakit itu, kakiku jadi goyah dan aku
terjatuh, dan juga karena dia masih dalam genggamanku dia ikut terjatuh.
Aku mengaduh merasakan sakit pada tangan, kepala, dan
bokongku yang terbentur atap yang rata itu. Saat aku menyadari bahwa ruang
gerakku terbatas oleh badan laki-laki itu, aku langsung mendorongnya. Dia beranjak
menjauhiku.
“maaf,” katanya. Aku hanya mengangguk, lalu bangkit menuju
buku-bukuku yang kutinggalkan tadi. Kuputuskan untuk menyudahi pertemuan kami.
“hei! Gue belum tahu nama lo,” di menahan tanganku. Aku berbalik
menghadapnya.
“apa penting sebuah nama bagi orang kaya lo?” aku melangkah
pergi. Dia tetap ditempatnya, tapi aku takkan repot-repot mengkhawatirkan bahwa
dia akan kembali melompat, karena dia tak akan berbuat begitu aku sangat tahu.
Bermula dari kejadian itu, lalu dia entah mengapa selalu
mengunjungi atap itu dan tentu saja selalu bertemu denganku. dia tidak seperti
yang aku pikirkan sebelumnya, dia seorang laki-laki yang ramah, cerdas, dan
tidak dangkal. Aku jadi heran mengapa dia memutuskan untuk melompat hanya
karena seorang perempuan. Kami banyak berbincang, mengenai banyak hal pula.
Dimas, namanya, mahasiswa Fakultas Hukum. Dia juga baru
mengetahui kalau aku ini adalah mahasiswi baru yang pindah bulan lalu. Dan sejak
itu hubungan kami berangsur baik, sangat baik. Dia sering mengajakku ke
tempat-tempat yang- menurutnya- menyenangkan. Dan aku mendapati diriku telah
melupakan Gilang, kecuali rasa sakit yang masih tertanam di hatiku ini.
Kami sering berbincang mengenai kelas, atau mahasiswa lain. Dia
bisa jadi teman bergosip yang menyenangkan. Dia setiap hari mampir ke
fakultasku, dan tentu saja aku langsung tahu bahwa dia adalah mahasiswa yang
dipuja-puja oleh hampir semua mahasiswi di fakultasku dan fakultas lainnya. Aku
ingin tertawa jika mendengar omongan mereka, dan tentu saja melihat tatapan
mereka kepadaku yang “aneh” ini saat aku dijemput oleh pangeran mereka itu. Seperti
saat ini saat kami duduk di kafetaria dekat kampus kami, dan aku melihat teman
satu jurusanku sedang berkasak-kusuk dibelakang kami saat kami berbincang,
bertengkar, atau saat dia mencubit pipiku, ya itu seringkali dia lakukan padaku,
seberapapun seringnya aku memukul jika dia mencubitku.
Pernah suatu kali seorang teman sekelasku bertanya apakah
aku berpacaran dengan Dimas. Aku hanya bisa tertawa, dan saat kuceritakan pada
Dimas, dia pun tertawa sangat keras, saking kerasnya aku sampai malu dibuatnya.
Untuk sekali ini, ini cukup bagiku. Meskipun aku tak bisa
berbohong bahwa kami memang sangat dekat , tapi aku belum bisa membuka hatiku
untuk siapapun. Namun kita tak akan pernah tahu misteri apa yang menantiku di
langkah berikutnya. Kita tak pernah tahu, takkan pernah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
i don't hate comment. so comment this post, please. i will be glad..:D